Koperasi atau Cooperative Organization bermakna organizatian owned by and operated for the benefit of those using its services
atau dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa organisasi koperasi adalah
organisasi yang dimiliki sekaligus dioperasikan untuk kepentingan
penggunaannya dalam hal ini adalah anggotanya.[1] Koperasi yang berawal dari kata “co” yang berarti bersama dan “operation”
yang berarti bekerja, sehingga koperasi diartikan dengan “bekerja
sama”. Sedangkan, pengertian umum koperasi adalah suatu kumpulan
orang-orang yang mempunyai tujuan sama, diikat dalam suatu organisasi
yang berasaskan kekeluargaan dengan maksud mensejahterakan anggota.
Gerakan koperasi digagas oleh Robert Owen (1771-1858) yang diterapkannya
pertama kali pada usaha pemintalan kapas di New Lanark, Skotlandia.
Gerakan koperasi ini dikembangkan lebih lanjut oleh William King
(1786-1865) dengan mendirikan toko koperasi di Brighton, Inggris. Pada 1
Mei 1828, King menerbitkan publikasi bulanan yang bernama “The Cooperator” yang berisi berbagai gagasan dan saran-saran praktis tentang mengelola toko dengan menggunakan prinsip koperasi.[2]
Koperasi di Indonesia diperkenalkan oleh R. Aria Wiriatmadja di
Purwokerto, Jawa Tengah pada Tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit
dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir.
Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi
Utomo. Tokoh nasional yang dengan gigih mendukung koperasi adalah Moh.
Hatta, wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, sehingga beliau
disebut dengan Bapak Koperasi Indonesia[3].
Secara resmi gerakan koperasi Indonesia baru lahir pada tanggal 12 Juli
1947 pada Kongres I di Tasikmalaya yang diperingati sebagai Hari
Koperasi Indonesia.
Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau
badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai
modal untuk menjalankan usaha yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan
bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan
prinsip koperasi.[4] Koperasi ini diatur berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
Lahirnya Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 menggantikan Undang-Undang No.
25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dinilai memiliki beberapa kelemahan
dan mewarisi tradisi perkoperasian kolonial. Salah satu contohnya adalah
semangat koperasi dihilangkan kemandiriannya dan disubordinasikan di
bawah kepentingan kapitalisme maupun negara. Campur tangan pemerintah
dan kepentingan pemilik modal besar sangat terbuka dalam undang-undang
ini.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Koperasi dijelaskan bahwa koperasi adalah
badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum
koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk
menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di
bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip
koperasi. Dari definisi tersebut mengandung makna koperasi sebagai badan
hukum yang tidak ada bedanya dengan badan usaha uang lain.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 masih berlandaskan pada azas
perseorangan yang hampir sama dengan perusahaan kapitalistik seperti
Perseroan.
Selain itu, dalam Pasal 75 Undang-Undang ini yang mengatur soal
penyertaan modal tidak mengenal adanya pembatasan. Akibatnya, koperasi
bisa kehilangan kemandiriannya dan anggotanya hanya sekadar dijadikan
objek pinjaman bagi pemilik modal besar. Bahkan, Pasal 55 semakin
mengancam kemandirian koperasi yang membolehkan kepengurusan koperasi
dari luar anggota. Keberadaan Dewan Pengawas sebagaimana tercantum dalam
Pasal 48 sampai Pasal 54 juga yang berfungsi layaknya lembaga
superbody. Hal ini memudahkan keputusan koperasi di luar kepentingan
anggotanya.[5]
Sebelumnya, kritik terhadap Undang-Undang Perkoperasian juga dilontarkan oleh Revrisond Baswir[6]
bahwa Undang-Undang No. 17 Tahun 2001 tidak memiliki perbedaan
substansial dengan Undang-Undang Perkoperasian era orde baru
Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1967.
Secara substansial, Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 masih mewarisi
karakteristik/corak koperasi yang diperkenalkan di era pemerintahan
Soeharto melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1967.[7]
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 dengan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1958 di era pemerintahan Soekarno terletak
pada ketentuan keanggotaan koperasi. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun
1958, sebagaimana diatur pada Pasal 18, yang dapat menjadi anggota
koperasi adalah yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha
koperasi. Ketentuan ini lebih lanjut menurut Revrisond sejalan dengan
penjelasan Mantan Wakil Presiden Moh. Hatta bahwa “bukan corak pekerjaan
yang dikerjakan menjadikan ukuran untuk menjadi anggota, melainkan
kemauan dan rasa bersekutu dan cita-cita koperasi yang dikandung dalam
dada dan kepala masing-masing”. [8]
Pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 ketentuan keanggotaan koperasi
berubah secara mendasar. Hal ini tergambar dalam Pasal 11 bahwa
keanggotaan koperasi didasarkan atas kesamaan kepentingan dalam lapangan
usaha koperasi. Kemudian, pada Pasal 17 yang dimaksud dengan anggota
yang memiliki kesamaan kepentingan adalah suatu golongan dalam
masyarakat yang homogen. Perubahan ketentuan keanggotaan yang dilakukan
melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 ini adalah dasar bagi tumbuhnya
koperasi-koperasi golongan fungsional seperti koperasi pegawai negeri,
koperasi dosen, dan koperasi angkatan bersenjata di Indonesia.
Undang-Undang Perkoperasi yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 17 Tahun
2012 juga mempertahankan keberadaan koperasi golongan fungsional. Pada
Pasal 27 ayat (1), syarat keanggotaan koperasi primer adalah mempunyai
kesamaan kepentingan ekonomi. Lebih lanjut dalam penjelasn disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan kesamaan kepentingan ekonomi adalah kesamaan
dalam hal kegiatan usaha, produksi, distribusi, dan pekerjaan atau
profesi.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 membuka peluang untuk mendirikan
koperasi produksi, namun di Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 peluang ini
justru ditutup sama sekali. Hal ini terlihat pada Pasal 83, di mana
hanya terdapat empat koperasi yang diakui keberadaannya di Indonesia,
yaitu koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa, dan koperasi
simpan pinjam. Sesuai dengan Pasal 84 ayat (2) yang dimaksud dengan
koperasi produsen dalah koperasi yang menyelenggarakan kegiatan usaha
pelayanan di bidang pengadaan sarana produksi dan pemasaran produksi.
Artinya, yang dimaksud dengan koperasi produsen sesungguhnya adalah
koperasi konsumsi para produsen dalam memperoleh barang dan modal.[9]
Karakteristik Undang-Undang No, 17 Tahun 2012 yang mempertahankan
koperasi golongan fungsional dan meniadakan koperasi produksi itu jelas
paradoks dengan perkembangan koperasi yang berlangsung secara
internasional. Dengan tujuan dapat digunakan sebagai dasar untuk
menjadikan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat, justru Undang-Undang
No. 17 Tahun 2012 diwaspadai menjadi ancaman serius terhadap keberadaan
koperasi di Indonesia.
Selain itu, pada Pasal 78 Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 mengatur
koperasi dilarang membagikan profit apabila diperoleh dari hasil
transaksi usaha dengan non-anggota, yang justru seharusnya
surplus/profit sebuah koperasi sudah sewajarnya dibagikan kepada
anggota. Hal ini cukup membuktikan ketidakberpihakan pemerintah kepada
rakyat kecil. Hal mana yang sudah kita ketahui bersama bahwa koperasi
sangat sulit melakukan transaksi dengan nilai laba tinggi kepada
anggotanya, karena justru menekan laba/profit demi memberikan
kesejahteraan kepada anggotanya. Bersikap tolak belakang dari ketentuan
Pasal di atas, Pasal 80 menentukan bahwa dalam hal terdapay defisit
hasil usaha pada koperasi simpan pinjam, anggota wajib menyetor tambahan
Sertifikan Modal Koperasi. [10]
Berkaitan dengan lembaga Credit Union, khususnya di Provinsi
Kalimantan Barat yang menjadi kontroversi, sebab Undang-Undang No. 17
Tahun 2012 tidak sama sekali menyinggung soal Credit Union, padahal credit union
berkembang sangat pesat di provinsi tersebut. Masyarakat Provinsi
Kalimantan Barat lebih menyukai menggunakan fasilitas Credit Union
daripada koperasi.[11]
Bagi penulis, tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut jika credit union tidak dimasukkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2012. Hal ini dikarenakan, Credit Union sangatlah berbeda dengan sistem koperasi utamanya Koperasi Simpan Pinjam. Jika simpan pinjam di luar Credit Union modal bisa dari pihak luar yang kemudian dipinjamkan kepada anggotanya, maka di Credit Union bersifat swadaya, pendidikan, dan solidaritas.
Pinjaman yang diberikan kepada anggota Credit Union adalah murni dari modal yang tergabung di dalamnya dan bukan dari pinjaman yang berasal dari pihak ketiga. Jika Credit Union telah
tidak masuk dalam Undang-Undang Perkoperasian, maka kedepan mungkin
akan dibuatkan aturan yang lebih spesifik/khusus baik dari segi hukum
materiil ataupun formalnya, agar lebih memberikan kepastian hukum.
Referensi:
[1]
Berdasarkan Britannica Concise Encyclopedia, dalam Bambang Supriyanto,
Kritik Terhadap Koperasi (Serta Solusinya) Sebagai Media Pendorong
Pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Jurnal Ekonomi
& Pendidikan, Volume 4 Nomor 2, Nopember 2007, Hlm. 16-17.
[2] Bambang Supriyanti, Kritik Terhadap...., Op.Cit., Hlm. 18.
[3] Ibid.
[4] Pengertian Koperasi, Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
[5] Berdikari, Undang-Undang Perkoperasian Masih Dianggap Warisan Kolonial, 2013, http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20130427/uu-perkoperasian-dianggap-masih-warisan-kolonial.html
[6] Revrisond Baswir adalah ekonom progresif dari Universitas Gadjah Mada.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Irwan Walik (Kompasiana), Pemerintah yang Tidak Pro-Rakyat, 2013, http://hukum.kompasiana.com/2013/01/04/pemerintahan-yang-tidak-pro-rakyat-516368.html
[11] Yohannes, Credit Union, 2012, http://www.kalimantan-news.com/berita.php?idb=17211