Rabu, 02 Oktober 2013

Analisis Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian




Koperasi atau Cooperative Organization bermakna organizatian owned by and operated for the benefit of those using its services atau dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa organisasi koperasi adalah organisasi yang dimiliki sekaligus dioperasikan untuk kepentingan penggunaannya dalam hal ini adalah anggotanya.[1] Koperasi yang berawal dari kata “co” yang berarti bersama dan “operation” yang berarti bekerja, sehingga koperasi diartikan dengan “bekerja sama”. Sedangkan, pengertian umum koperasi adalah suatu kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan sama, diikat dalam suatu organisasi yang berasaskan kekeluargaan dengan maksud mensejahterakan anggota.
Gerakan koperasi digagas oleh Robert Owen (1771-1858) yang diterapkannya pertama kali pada usaha pemintalan kapas di New Lanark, Skotlandia. Gerakan koperasi ini dikembangkan lebih lanjut oleh William King (1786-1865) dengan mendirikan toko koperasi di Brighton, Inggris. Pada 1 Mei 1828, King menerbitkan publikasi bulanan yang bernama “The Cooperator” yang berisi berbagai gagasan dan saran-saran praktis tentang mengelola toko dengan menggunakan prinsip koperasi.[2]
Koperasi di Indonesia diperkenalkan oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada Tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Utomo. Tokoh nasional yang dengan gigih mendukung koperasi adalah Moh. Hatta, wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, sehingga beliau disebut dengan Bapak Koperasi Indonesia[3]. Secara resmi gerakan koperasi Indonesia baru lahir pada tanggal 12 Juli 1947 pada Kongres I di Tasikmalaya yang diperingati sebagai Hari Koperasi Indonesia.
Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi.[4] Koperasi ini diatur berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
Lahirnya Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 menggantikan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dinilai memiliki beberapa kelemahan dan mewarisi tradisi perkoperasian kolonial. Salah satu contohnya adalah semangat koperasi dihilangkan kemandiriannya dan disubordinasikan di bawah kepentingan kapitalisme maupun negara. Campur tangan pemerintah dan kepentingan pemilik modal besar sangat terbuka dalam undang-undang ini.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Koperasi dijelaskan bahwa koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi. Dari definisi tersebut mengandung makna koperasi sebagai badan hukum yang tidak ada bedanya dengan badan usaha uang lain. Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 masih berlandaskan pada azas perseorangan yang hampir sama dengan perusahaan kapitalistik seperti Perseroan.
Selain itu, dalam Pasal 75 Undang-Undang ini yang mengatur soal penyertaan modal tidak mengenal adanya pembatasan. Akibatnya, koperasi bisa kehilangan kemandiriannya dan anggotanya hanya sekadar dijadikan objek pinjaman bagi pemilik modal besar. Bahkan, Pasal 55 semakin mengancam kemandirian koperasi yang membolehkan kepengurusan koperasi dari luar anggota. Keberadaan Dewan Pengawas sebagaimana tercantum dalam Pasal 48 sampai Pasal 54 juga yang berfungsi layaknya lembaga superbody. Hal ini memudahkan keputusan koperasi di luar kepentingan anggotanya.[5]
Sebelumnya, kritik terhadap Undang-Undang Perkoperasian juga dilontarkan oleh Revrisond Baswir[6] bahwa Undang-Undang No. 17 Tahun 2001 tidak memiliki perbedaan substansial dengan Undang-Undang Perkoperasian era orde baru Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1967. Secara substansial, Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 masih mewarisi karakteristik/corak koperasi yang diperkenalkan di era pemerintahan Soeharto melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1967.[7]
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1958 di era pemerintahan Soekarno terletak pada ketentuan keanggotaan koperasi. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1958, sebagaimana diatur pada Pasal 18, yang dapat menjadi anggota koperasi adalah yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha koperasi. Ketentuan ini lebih lanjut menurut Revrisond sejalan dengan penjelasan Mantan Wakil Presiden Moh. Hatta bahwa “bukan corak pekerjaan yang dikerjakan menjadikan ukuran untuk menjadi anggota, melainkan kemauan dan rasa bersekutu dan cita-cita koperasi yang dikandung dalam dada dan kepala masing-masing”. [8]
Pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 ketentuan keanggotaan koperasi berubah secara mendasar. Hal ini tergambar dalam Pasal 11 bahwa keanggotaan koperasi didasarkan atas kesamaan kepentingan dalam lapangan usaha koperasi. Kemudian, pada Pasal 17 yang dimaksud dengan anggota yang memiliki kesamaan kepentingan adalah suatu golongan dalam masyarakat yang homogen. Perubahan ketentuan keanggotaan yang dilakukan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 ini adalah dasar bagi tumbuhnya koperasi-koperasi golongan fungsional seperti koperasi pegawai negeri, koperasi dosen, dan koperasi angkatan bersenjata di Indonesia.
Undang-Undang Perkoperasi yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 juga mempertahankan keberadaan koperasi golongan fungsional. Pada Pasal 27 ayat (1), syarat keanggotaan koperasi primer adalah mempunyai kesamaan kepentingan ekonomi. Lebih lanjut dalam penjelasn disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kesamaan kepentingan ekonomi adalah kesamaan dalam hal kegiatan usaha, produksi, distribusi, dan pekerjaan atau profesi.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 membuka peluang untuk mendirikan koperasi produksi, namun di Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 peluang ini justru ditutup sama sekali. Hal ini terlihat pada Pasal 83, di mana hanya terdapat empat koperasi yang diakui keberadaannya di Indonesia, yaitu koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa, dan koperasi simpan pinjam. Sesuai dengan Pasal 84 ayat (2) yang dimaksud dengan koperasi produsen dalah koperasi yang menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan di bidang pengadaan sarana produksi dan pemasaran produksi. Artinya, yang dimaksud dengan koperasi produsen sesungguhnya adalah koperasi konsumsi para produsen dalam memperoleh barang dan modal.[9]
Karakteristik Undang-Undang No, 17 Tahun 2012 yang mempertahankan koperasi golongan fungsional dan meniadakan koperasi produksi itu jelas paradoks dengan perkembangan koperasi yang berlangsung secara internasional. Dengan tujuan dapat digunakan sebagai dasar untuk menjadikan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat, justru Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 diwaspadai menjadi ancaman serius terhadap keberadaan koperasi di Indonesia.
Selain itu, pada Pasal 78 Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 mengatur koperasi dilarang membagikan profit apabila diperoleh dari hasil transaksi usaha dengan non-anggota, yang justru seharusnya surplus/profit sebuah koperasi sudah sewajarnya dibagikan kepada anggota. Hal ini cukup membuktikan ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil. Hal mana yang sudah kita ketahui bersama bahwa koperasi sangat sulit melakukan transaksi dengan nilai laba tinggi kepada anggotanya, karena justru menekan laba/profit demi memberikan kesejahteraan kepada anggotanya. Bersikap tolak belakang dari ketentuan Pasal di atas, Pasal 80 menentukan bahwa dalam hal terdapay defisit hasil usaha pada koperasi simpan pinjam, anggota wajib menyetor tambahan Sertifikan Modal Koperasi. [10]
Berkaitan dengan lembaga Credit Union, khususnya di Provinsi Kalimantan Barat yang menjadi kontroversi, sebab Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tidak sama sekali menyinggung soal Credit Union, padahal credit union berkembang sangat pesat di provinsi tersebut. Masyarakat Provinsi Kalimantan Barat lebih menyukai menggunakan fasilitas Credit Union daripada koperasi.[11]
Bagi penulis, tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut jika credit union tidak dimasukkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2012. Hal ini dikarenakan, Credit Union sangatlah berbeda dengan sistem koperasi utamanya Koperasi Simpan Pinjam. Jika simpan pinjam di luar Credit Union modal bisa dari pihak luar yang kemudian dipinjamkan kepada anggotanya, maka di Credit Union bersifat swadaya, pendidikan, dan solidaritas.
Pinjaman yang diberikan kepada anggota Credit Union adalah murni dari modal yang tergabung di dalamnya dan bukan dari pinjaman yang berasal dari pihak ketiga. Jika Credit Union telah tidak masuk dalam Undang-Undang Perkoperasian, maka kedepan mungkin akan dibuatkan aturan yang lebih spesifik/khusus baik dari segi hukum materiil ataupun formalnya, agar lebih memberikan kepastian hukum. 
Referensi:
[1] Berdasarkan Britannica Concise Encyclopedia, dalam Bambang Supriyanto, Kritik Terhadap Koperasi (Serta Solusinya) Sebagai Media Pendorong Pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 4 Nomor 2, Nopember 2007, Hlm. 16-17. 
[2] Bambang Supriyanti, Kritik Terhadap...., Op.Cit., Hlm. 18. 
[3] Ibid. 
[4] Pengertian Koperasi, Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. 
[5] Berdikari, Undang-Undang Perkoperasian Masih Dianggap Warisan Kolonial, 2013, http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20130427/uu-perkoperasian-dianggap-masih-warisan-kolonial.html
[6] Revrisond Baswir adalah ekonom progresif dari Universitas Gadjah Mada. 
[7] Ibid. 
[8] Ibid. 
[9] Ibid. 
[10] Irwan Walik (Kompasiana), Pemerintah yang Tidak Pro-Rakyat, 2013, http://hukum.kompasiana.com/2013/01/04/pemerintahan-yang-tidak-pro-rakyat-516368.html

Sosialisasi Undang-undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian



BAMBANG SYAMSUZAR OYONG 
Notaris-PPAT Kota Banjarmasin
SOSIALISASI UU NOMOR 17 TAHUN 2012
TENTANG KOPERASI
         
          Ada sesuatu yang menarik yang belum banyak diketahui oleh para pelaku usaha saat diundangkannya UU No. 17 tahun 2012 tentang Koperasi sebagai pengganti dari UU No. 25 Tahun 1992. Diundangkannya UU Koperasi  pada tanggal 29 Oktober 2012, menjadi tongak dasar penempatan Koperasi sebagai badan hukum yang memiliki pengaturan menjadi sangat jelas.
Koperasi sebagai mana diketahui adalah bagian dari pengembangan pemberdayaan kebijakan perekonomian Nasional sebagai sokoguru dalam penempatan wadah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi anggota, tumbuh menjadi kuat, sehat, mandiri dalam menghadapi perkembangan Ekonomi Nasional dan global yang semakin dinamis. Untuk itu Koperasi harus siap menghadapi tantangan dalam perkembangan ekonomi dunia yang pesat saat ini. Ini yang selalu disebutkan setiap saat dalam menciptakan kemandirian Koperasi yang sama dengan badan hukum dan bandan usaha lainnya. Namun kenyataan Koperasi sebagai badan tidak segesit badan hukum dan badan usaha lainnya. Walaupun regulasi mengenai Koperasi sudah cukup banyak dikeluarkan oleh Pemerintah. Sampai-sampai untuk berjalanpun sangat sulit ? Inilah kondisi Koperasi yang ada di negeri ini.  Padahal misi pendirian Koperasi tidak lain untuk berperan nyata dalam menyusun perekonomian yang berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi yang mengutamakan kemakmuran masyarakat bukan kemakmuran orang perorang. Oleh karena itu, peran keanggotaan koperasi sesuatu yang sangat penting dalam perkembangan perekonomian nasional.  Regulasi yang dilakukan pemerintah dan legislative yaitu merevisi keberadaaan UU No. 25 Tahun 1992 yang dinyatakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hokum ekonomi yang ada saat ini disamping perkembangan perkoperasian yang ada yaitu dengan diundangkannya UU No. 17 Tahun 2012.
Ada hal yang menarik dengan dikeluarkannya UU Koperasi terbaru yaitu diakomodasinya nilai-nilai prinsip koperasi sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan juga mengakomodasi hasil kongres International Cooperative Alliance (ICA). Disamping itu juga pendirian Koperasi harus melalui akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Notaris selaku Pejabat Pembuat Akta Koperasi (NPAK). Ada penggunaan nama Koperasi yang di atur yang tidak boleh menggunakan nama Koperasi yang telah didirikan dan teraftar. Kemudahan masyarakat dalam mendirikan Koperasi sebagai badan hukum, dimana setiap permohonan pendirian koperasi harus disudah mendapat persetujuan Menteri selambat-lambatnya 30 hari kerja, dan lainnya memberikan nilai-nilai reformasi pada Koperasi.
Disamping itu juga, jika dikaji dengan diberlakukannya UU Koperasi terdapat hal-hal yang menjadi kendala saat belum terbit atau keluarnya peraturan pelaksanaan. Penulis menilai, dari 16 Bab dengan 126 Pasal terdapat beberapa permasalahan jika hal ini tidak segera ditindak lanjuti yaitu perihal mengenai proses pendirian Koperasi sebagai badan hokum. Berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat 1 menyebutkan, Koperasi memperoleh pengesahan sebagai badan hukum setelah akta pendirian Koperasi disahkan oleh Menteri terkait. Artinya proses pendirian Koperasi melalui proses mekanisme pengesahan oleh pejabat terkait untuk menjadikannya sebagai badan hukum penyandang hak dan kewajiban. Dan pejabat terkait dalam hal ini Menteri harus segera mengesahkannya dalam jangka waktu 30 hari sebagaimana yang ditetapkan. Apabila dalam jangka waktu 30 hari tersebut,  Menteri tidak mengesahkannya tanpa dilalui proses penolakan, maka akta pendirian Koperasi itu dianggap sah (Pasal 13 ayat 3). Pertanyaannya adalah pengertian dianggap sah sebagaimana pada prasa yang dimaksud pada akta pendirian Koperasi dapat juga diartikan bahwa Koperasi telah dinyatakan sebagai badan hukum dimana dengan tidak menunggu SK Pengesahan dari Menteri. Jika hal ini tidak dijelaskan secara menyeluruh akan menjadi permasalahan bagi pendirian Koperasi. Dimana SK Pengesahan adalah sebagai bukti bahwa pendirian Koperasi telah sesuai sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang untuk dinyatakan sebagai badan hukum dan berlanjut pada perubahannya Anggaran Dasar Koperasi.
Undang-Undang Koperasi juga memuat ketentuan bahwa akta pendirian Koperasi harus dibuat oleh Notaris selaku pejabat umum yang ditunjuk untuk membuat akta pendirian dengan menggunakan bahasa Indonesia (Pasal 9 ayat 1). Tidak semua Notaris dapat dimungkinkan membuat akta pendirian Koperasi melainkan Notaris yang telah terdaftar pada Kementrian Koperasi dengan telah mengikuti pelatihan sebagaimana yang ditetapkan. Disamping itu juga adanya pajabat selain Notaris untuk  membuat akta pendirian Koperasi yaitu Camat selaku pejabat pembuat akta Koperasi asalkan pejabat yang dimaksud telah disahkan selaku Pejabat Pembuat Akta Koperasi.
Ketentuan tersebut akan menjadi dilematis sekali. Jika Notaris dikatakan sebagai pejabat umum sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris. Penempatan Camat  dalam pembuatan akta pendirian Koperasi, dapat juga memposisikan Camat selaku pejabat umum, pada hal kita mengetahui Camat bukanlah pejabat umum, dikarena prodak yang dihasilkan oleh Camat adalah prodak Tata Usaha Negara. Maka akta pendirian Koperasi yang dibuat Camat dapat digugat secara Peradilan Tata Usaha Negara. Pada hal setiap akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris bukan prodak tata usaha Negara dan tidak dapat digugat secara peradilan TUN. Ketentuan-ketentuan ini nantinya akan selalu menjadi permasalahan dikemudian hari.
 Undang-undang Koperasi juga memuat ketentuan tentang pemakaian nama Koperasi yang tidak boleh menyerupai terhadap nama-nama Koperasi yang telah berdiri sebelumnya. Ketentuan tersebut lebih menyerupai sebagaimana pada Perseroan Terbatas dan Yayasan. Pemakaian nama adalah bentuk identitas dari Koperasi yang bersangkutan apakah sebagai Koperasi Primer atau Sekunder dengan jenis Koperasi Konsumen, Produsen, Jasa atau Simpan Pinjam yang sebelumnya tidak diatur pada Undang-Undang sebelumnya.
Pada  UU No. 25 Tahun 1992 dari pengaturannya tidak ada satupun pasal-pasal yang mengatur adanya pemberian sanksi bagi Koperasi yang bersangkutan baik menyangkut sebagai badan hokum maupun terhadap kelembagaannya. Namun dalam ketentuan UU No. 17 Tahun 2012 jelas menyebutkan adanya ketentuan sanksi administrative baik menyangkut teguran secara tertulis, larangan untuk menjalankan fungsi sebagai  Pengurus atau Pengawas Koperasi, sampai pada pencabutan izin usaha  dan pembubaran Koperasi. Ketentuan sanksi tidak lain memberi peringkatan kepada setiap Anggota Koperasi untuk menjalankan Koperasi dengan sebaik-baiknya.
Pada ketentuan Peralihan UU No. 17 Tahun 2012, disebutkan Koperasi yang telah berdiri sebelum  dikeluarkannya UU tersebut tetap diakui sebagai Koperasi berdasarkan UU yang ada. Untuk itu, dalam jangka waktu paling lambat tiga tahun sejak UU ini diundangkan bahwa Koperasi yang bersangkutan untuk segera menyesuaikan Anggaran Dasarnya. Koperasi yang tidak menyesuaiakan dalam jangka waktu tersebut akan ditindak sebagaimana  ketentuan UU. Ketentuan UU yang dimaksud dapat juga diartikan ketentuan sanksi administrative pada ketentuan Pasal 12 ayat 2.
Banyak hal-hal yang tercantum pada UU No. 17 Tahun 2012. Untuk mereformasi Koperasi sebagai badan hokum secara legalitas formal telah dimulai dengan diundangkannya UU ini. Namun yang menjadi kendala-kendala tersebut di atas dapat dipercepat untuk dikeluarkannya peraturan pelaksanaannya. Kedepannya ini menjadi momentum bahwa Koperasi juga sebagai badan hukum yang juga dapat berlari sama kenjangnya dengan Perseroan Terbatas maupun dengan badan usaha lainnya.