BAMBANG
SYAMSUZAR OYONG
Notaris-PPAT Kota Banjarmasin
SOSIALISASI
UU NOMOR 17 TAHUN 2012
TENTANG
KOPERASI
Ada
sesuatu yang menarik yang belum banyak diketahui oleh para pelaku usaha saat
diundangkannya UU No. 17 tahun 2012 tentang Koperasi sebagai pengganti dari UU
No. 25 Tahun 1992. Diundangkannya UU Koperasi
pada tanggal 29 Oktober 2012, menjadi tongak dasar penempatan Koperasi
sebagai badan hukum yang memiliki pengaturan menjadi sangat jelas.
Koperasi sebagai mana
diketahui adalah bagian dari pengembangan pemberdayaan kebijakan perekonomian
Nasional sebagai sokoguru dalam penempatan wadah usaha bersama untuk memenuhi
aspirasi dan kebutuhan ekonomi anggota, tumbuh menjadi kuat, sehat, mandiri
dalam menghadapi perkembangan Ekonomi Nasional dan global yang semakin dinamis.
Untuk itu Koperasi harus siap menghadapi tantangan dalam perkembangan ekonomi
dunia yang pesat saat ini. Ini yang selalu disebutkan setiap saat dalam
menciptakan kemandirian Koperasi yang sama dengan badan hukum dan bandan usaha
lainnya. Namun kenyataan Koperasi sebagai badan tidak segesit badan hukum dan
badan usaha lainnya. Walaupun regulasi mengenai Koperasi sudah cukup banyak
dikeluarkan oleh Pemerintah. Sampai-sampai untuk berjalanpun sangat sulit ?
Inilah kondisi Koperasi yang ada di negeri ini.
Padahal misi pendirian Koperasi tidak lain untuk berperan nyata dalam
menyusun perekonomian yang berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi
yang mengutamakan kemakmuran masyarakat bukan kemakmuran orang perorang. Oleh
karena itu, peran keanggotaan koperasi sesuatu yang sangat penting dalam
perkembangan perekonomian nasional.
Regulasi yang dilakukan pemerintah dan legislative yaitu merevisi
keberadaaan UU No. 25 Tahun 1992 yang dinyatakan sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hokum ekonomi yang ada saat ini disamping perkembangan
perkoperasian yang ada yaitu dengan diundangkannya UU No. 17 Tahun 2012.
Ada hal yang menarik
dengan dikeluarkannya UU Koperasi terbaru yaitu diakomodasinya nilai-nilai
prinsip koperasi sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang tertuang
dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan juga mengakomodasi hasil kongres International
Cooperative Alliance (ICA). Disamping itu juga pendirian Koperasi harus
melalui akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Notaris selaku Pejabat Pembuat
Akta Koperasi (NPAK). Ada penggunaan nama Koperasi yang di atur yang tidak
boleh menggunakan nama Koperasi yang telah didirikan dan teraftar. Kemudahan
masyarakat dalam mendirikan Koperasi sebagai badan hukum, dimana setiap
permohonan pendirian koperasi harus disudah mendapat persetujuan Menteri
selambat-lambatnya 30 hari kerja, dan lainnya memberikan nilai-nilai reformasi
pada Koperasi.
Disamping itu juga,
jika dikaji dengan diberlakukannya UU Koperasi terdapat hal-hal yang menjadi
kendala saat belum terbit atau keluarnya peraturan pelaksanaan. Penulis
menilai, dari 16 Bab dengan 126 Pasal terdapat beberapa permasalahan jika hal
ini tidak segera ditindak lanjuti yaitu perihal mengenai proses pendirian
Koperasi sebagai badan hokum. Berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat 1
menyebutkan, Koperasi memperoleh pengesahan sebagai badan hukum setelah akta
pendirian Koperasi disahkan oleh Menteri terkait. Artinya proses pendirian
Koperasi melalui proses mekanisme pengesahan oleh pejabat terkait untuk
menjadikannya sebagai badan hukum penyandang hak dan kewajiban. Dan pejabat
terkait dalam hal ini Menteri harus segera mengesahkannya dalam jangka waktu 30
hari sebagaimana yang ditetapkan. Apabila dalam jangka waktu 30 hari
tersebut, Menteri tidak mengesahkannya
tanpa dilalui proses penolakan, maka akta pendirian Koperasi itu dianggap sah
(Pasal 13 ayat 3). Pertanyaannya adalah pengertian dianggap sah sebagaimana
pada prasa yang dimaksud pada akta pendirian Koperasi dapat juga diartikan
bahwa Koperasi telah dinyatakan sebagai badan hukum dimana dengan tidak
menunggu SK Pengesahan dari Menteri. Jika hal ini tidak dijelaskan secara
menyeluruh akan menjadi permasalahan bagi pendirian Koperasi. Dimana SK
Pengesahan adalah sebagai bukti bahwa pendirian Koperasi telah sesuai
sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang untuk dinyatakan sebagai badan
hukum dan berlanjut pada perubahannya Anggaran Dasar Koperasi.
Undang-Undang
Koperasi juga memuat ketentuan bahwa akta pendirian Koperasi harus dibuat oleh
Notaris selaku pejabat umum yang ditunjuk untuk membuat akta pendirian dengan
menggunakan bahasa Indonesia (Pasal 9 ayat 1). Tidak semua Notaris dapat
dimungkinkan membuat akta pendirian Koperasi melainkan Notaris yang telah
terdaftar pada Kementrian Koperasi dengan telah mengikuti pelatihan sebagaimana
yang ditetapkan. Disamping itu juga adanya pajabat selain Notaris untuk membuat akta pendirian Koperasi yaitu Camat
selaku pejabat pembuat akta Koperasi asalkan pejabat yang dimaksud telah
disahkan selaku Pejabat Pembuat Akta Koperasi.
Ketentuan tersebut
akan menjadi dilematis sekali. Jika Notaris dikatakan sebagai pejabat umum
sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris. Penempatan
Camat dalam pembuatan akta pendirian
Koperasi, dapat juga memposisikan Camat selaku pejabat umum, pada hal kita
mengetahui Camat bukanlah pejabat umum, dikarena prodak yang dihasilkan oleh
Camat adalah prodak Tata Usaha Negara. Maka akta pendirian Koperasi yang dibuat
Camat dapat digugat secara Peradilan Tata Usaha Negara. Pada hal setiap akta
otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris bukan prodak tata usaha Negara
dan tidak dapat digugat secara peradilan TUN. Ketentuan-ketentuan ini nantinya
akan selalu menjadi permasalahan dikemudian hari.
Undang-undang Koperasi juga memuat ketentuan
tentang pemakaian nama Koperasi yang tidak boleh menyerupai terhadap nama-nama
Koperasi yang telah berdiri sebelumnya. Ketentuan tersebut lebih menyerupai
sebagaimana pada Perseroan Terbatas dan Yayasan. Pemakaian nama adalah bentuk
identitas dari Koperasi yang bersangkutan apakah sebagai Koperasi Primer atau
Sekunder dengan jenis Koperasi Konsumen, Produsen, Jasa atau Simpan Pinjam yang
sebelumnya tidak diatur pada Undang-Undang sebelumnya.
Pada UU No. 25 Tahun 1992 dari pengaturannya tidak
ada satupun pasal-pasal yang mengatur adanya pemberian sanksi bagi Koperasi
yang bersangkutan baik menyangkut sebagai badan hokum maupun terhadap
kelembagaannya. Namun dalam ketentuan UU No. 17 Tahun 2012 jelas menyebutkan
adanya ketentuan sanksi administrative baik menyangkut teguran secara tertulis,
larangan untuk menjalankan fungsi sebagai
Pengurus atau Pengawas Koperasi, sampai pada pencabutan izin usaha dan pembubaran Koperasi. Ketentuan sanksi
tidak lain memberi peringkatan kepada setiap Anggota Koperasi untuk menjalankan
Koperasi dengan sebaik-baiknya.
Pada ketentuan
Peralihan UU No. 17 Tahun 2012, disebutkan Koperasi yang telah berdiri
sebelum dikeluarkannya UU tersebut tetap
diakui sebagai Koperasi berdasarkan UU yang ada. Untuk itu, dalam jangka waktu
paling lambat tiga tahun sejak UU ini diundangkan bahwa Koperasi yang
bersangkutan untuk segera menyesuaikan Anggaran Dasarnya. Koperasi yang tidak
menyesuaiakan dalam jangka waktu tersebut akan ditindak sebagaimana ketentuan UU. Ketentuan UU yang dimaksud
dapat juga diartikan ketentuan sanksi administrative pada ketentuan Pasal 12
ayat 2.
Banyak hal-hal yang
tercantum pada UU No. 17 Tahun 2012. Untuk mereformasi Koperasi sebagai badan
hokum secara legalitas formal telah dimulai dengan diundangkannya UU ini. Namun
yang menjadi kendala-kendala tersebut di atas dapat dipercepat untuk
dikeluarkannya peraturan pelaksanaannya. Kedepannya ini menjadi momentum bahwa
Koperasi juga sebagai badan hukum yang juga dapat berlari sama kenjangnya
dengan Perseroan Terbatas maupun dengan badan usaha lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar